Minggu, 02 Mei 2021

Institusi Islam di Nusantara (Peradilan Agama)

     Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulakan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggaran di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad VII / VIII M. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke nusantara pada abad XIII M. Daerah pertama yang didatangi adalah pesisir utara pulau Sumatra dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara (Daud Ali, 1993:209).

     Dari data diatas jelas bahwa sebelum pemerintah Hindia Belanda mengukuhkan kekuasaannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri sudah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat berdampingan dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat. Berikut akan diuraikan peradilan agama pada masa kerajaan Islam di Indonesia.

Peradilan Agama Masa Kerajaan Islam

1. Kerajaan Mataram

Mataram merupakan satu dari beberapa kerajaan Islam di Jawa selain Demak, Pajang, Banten dan Cirebon. Raja pertamanya adalah sutowijoyo yang telah berhasil meruntuhkan Pajang, dan bergelar Panembahan Senopati Sayidin Panotogomo (Halim, 2000:36).

Perkembangan peradilan agama pada masa kerajaan Mataram dicapai pada masa Sultan Agung. Pada awalnya Sultan Agung masih mempertahankan sistem peradilan yang dilaksanakaan pada masa kerajaan Hindu. Sultan Agung mengambil kebijakan dengan mengisi lembaga yang telah ada dan berkembang di masyarakat dengan prinsip-prinsip keislaman (Halim, 2000: 36).

Setelah kondisi masyarakat dirasa siap maka Peradilan Pradata dirubah menjadi pengadilan Surambi yang dipimpin oleh ulama. Wewenang Pengadilan Surambi masih tetap seperti Pengadilan Pradata. Hanya saja ketua pengadilan pelaksanaanya di tangan penghulu dan didampingi beberapa ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelas, meskipun pada prinsipnya masih di tangan Sultan. Keputusan Pengadilan Surambi berfungsi sebagai nasehat bagi Sultan dalam mengambil keputusan (Halim, 2000: 36).

Setelah Sultan Agung wafat, dan digantikan Amangkurat I, tahun 1645, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali, untuk mengurangi pengaruh ulama dalam pengadilan, dengan raja sebagai pimpinannya. Akan tetapi kebijakan ini tidak menjadikan Pengadilan Surambi tersingkir, bahkan pengadilan ini masih bertahan meski kekuasaannya dibatasi (Halim, 2000: 41).


2. Kerajaan Aceh

Di aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu dengan peradilan negeri. Peradilan itu mempunyai tingkatan-tingkatan, tingkat pertama dilaksanakan di tingkat Kampung yang di pimpin oleh Keucik. Peradilan ini hanya menangani perkara-perkara ringan, sedangkan perkara-perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum mukim. Peradilan tingkat kedua yang merupakan peradilan banding adalah Oeloebalang.Jika keputusan Oeloebalang memuaskan dapat dimintakan banding di peradilan ketiga yaitu Panglima Sagi. Keputusan Panglima Sagi bisa dimintakan banding kepada Sultan sebagai pengadilan tertinggi. Pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang terdiri dari Malikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara dan Fakih (Ulama) (Halim, 2000: 42).

Dari sistem peradilan tersebut terlihat bahwa pada zaman kerajaan Aceh sudah terbentuk sebuah sistem peradilan yang memiliki dua kompetensi yaitu absolut dan relatif. Kompetensi absolut berupa masalah yang berdasarkan hukum Islam, sedang kompetensi relatif meliputi Kampung di tingkat pertama, Oeloebalang yang membawahi beberapa Kampung, di tingkat kedua, Panglima Sagi di wilayah kecamatan dan terakhir Mahkamah Agung yang membawahi seluruh wilayah yang tunduk dibawah pemerintahan (Halim, 2000: 43).


3. Kesultanan Priangan

Menurut laporan Joan Frederik yang menjadi Residen di Cirebon tahun 1714-1717, Pengadilan Priangan diatur menurut pengadilan Mataram. Di tiap-tiap kabupaten terdapat seorang jaksa yang menjalankan peradilan terhadap perkara Padu, sedangkan perkara Pradata dikirim ke Mataram (Tresna, 1957:21).

Pada masa itu terdapat 3 bentuk peradilan yang berjalan, yaitu: peradilan agama, peradilan drigama dan peradilan cilaga. Masing-masing peradilan itu memiliki wewenang yang berbeda-beda (Tresna, 1957:35).

Peradilan Agama mempunyai wewenang terhadap perkara-perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati. Pada awalnya perkara ini merupakan perkara yang harus dikirim ke Mataram. Tetapi karena kekuasaan Mataram sudah merosot maka perkara-perkara tersebut tidak lagi dikirim ke Mataram. Perkara-perkara perkawinan dan waris juga termasuk wewenang peradilan agama (Halim, 2000: 43).

Peradilan drigama mengadili perkara selain perkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukuman mati serta perkawinan dan waris, yang merupakan kewenangan peradilan Agama. Peradilan drigama bekerja dengan pedoman hukum Jawa kuno dan diselesaikan menurut hukum adat setempat. Sementara peradilan cilega adalah peradilan khusus masalah niaga. Peradilan cilega terkenal juga dengan istilah peradilan wasit (Halim, 2000: 43).

Istilah agama dan drigama terdapat dalam Papakem Cirebon yang digunakan untuk mengadakan pemisahan menurut sifat diantara perkara-perkara yang harus diadili (Halim, 2000: 43).


4. Kesultanan Banten

Peradilan Banten disusun menurut pengertian hukum Islam. Pada masa Sultan Hasanuddin tidak ada bekas untuk pengadilan yang berdasarkan pada hukum Hindu. Pada abad XVII M, di Banten hanya ada satu pengadilan yang dipimpin oleh Kadhi. Satu-satunya peraturan yang masih mengingatkan pada pengaruh Hindu adalah, hukuman mati yang dijatuhkan oleh Kadhi memerlukan pengesahan dari raja (Tresna, 1957: 35).


5. Kerajaan Sulawesi

Kerajaan Tallo di Sulawesi Selatan merupakan kerajaan di Sulawesi yang pertama kali menerima ajaran Islam. Kemudian disusul kerajaan Gowa yang akhirnya menjadi kerajaan terkuat. Setelah menjadi kerajaan Islam, raja Gowa menempatkan Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) yang berkedudukan sama dengan Parewa Adek (Pejabat Adek) yang sudah ada sebelum datangnya Islam. Parewa Syara’ dipimpin oleh kali (Kadli), yaitu pejabat tinggi dalam Syari’at Islam yang berkedudukan di pusat kerajaan. Di masing-masing Palelidiangkat pejabat bawahan yang disebut Imam serta dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal. Para Kadi dan pejabat urusan ini diberikan gaji yang diambilkan dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah idul Fitri dan idul Adha, kenduri kerajaan, penyelenggaraan mayat dan penyelenggaraan pernikahan. Hal ini terjadi pada saat pemerintah raja Gowa XV (1637-1653) ketika Malikus Said berkuasa. Sebelumnya raja Gowa sendiri yang menjdi hakim agama Islam (Halim, 2000: 45).


6. Kerajaan lain di Kalimantan dan Sumatera

Di wilayah Kalimantan Selatan dan Timur serta tempat-tempat lain, para hakim diangkat oleh penguasa setempat. Di Sumatera Utara tidak ada kedudukan tersendiri bagi penyelenggara peradilan Islam. Para pejabat Agama langsung melaksanakan tugas-tugas peradilan, sebagaimana ditemukan di Palembang. Pengadilan Agama yang dipimpin Pangeran penghulu merupakan bagian dari struktur pemerintahan, disamping Pengadilan Syahbandar dan Pengadilan Patih. Di Pengadilan Syahbandar perkara diputus dengan berpedoman kepada hukum Islam dan ajaran Al-Qur’an, sedangkan di Pengadilan Patih perkara diputus dengan berpedoman hukum Adat (Halim, 2000: 43).



Sumber : 

R, Ahmad. (2015). PERADILAN AGAMA DI INDONESIA. Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam. Vol. 6, No. 2. Kudus: Yudisia.


Rabu, 04 Desember 2019

Makalah tentang Pentingnya Bahasa dalam Pendidikan Karakter


PENTINGNYA BAHASA DALAM MENUNJANG
PENDIDIKAN KARAKTER

Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi salah satu Tugas kelompok pada Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu : Nisa Afifah, S.S.M.Hum.

DI SUSUN OLEH :
1.      Muhammad Ova L.B.H          (33010190142)


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM KELAS D
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T, atas segala rahmat dan karunia-Nya, tak lupa sholawat serta salam kepada junjungan kami Nabi Besar Muhammad S.A.W atas petunjuk dan risalah-Nya. Sehingga, makalah bejudul “PARAGRAF” ini dapat kami selesaikan dengan lancar dan rapi pada mata kuliah Bahasa Indonesia.  Dan tak lupa  kami ucapkan atas doa restu juga dorongan dari berbagai pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini. Terutama kepada beliau guru pembimbing kami yang senantiasa memberikan dukungan serta bimbingannya.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, kami memohon maaf sebesar-besarnya dan kami sangat menghargai atas akan saran dan kritik untuk membangun makalah ini menjadi lebih baik. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi kita semua.












DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
A.    Latar Belakang......................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A.    Definisi Bahasa........................................................................................................ 2
B.     Definisi Pendidikan Karakter.................................................................................. 3
C.     Kesinambungan Bahasa Dalam Pendidikan Karakter............................................. 4
D.    Kedudukan dan Fungsi Bahasa Dalam Dunia Pendidikan..................................... 4
E.     Penanaman Pendidikan Karakter Melalui Bahasa................................................... 6
BAB III PENUTUP........................................................................................................... 9
A.    Kesimpulan.............................................................................................................. 9
B.     Kritik dan Saran....................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 10






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan karakter bisa dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya keluarga, teman bergaul, lingkungan, bahasa dan banyak lagi lainnya. Salah satu diantaranya yang paling berpengaruh adalah bahasa.  Dalam berkomunikasi bahasa merupakan suatu keharusan dan modal yang mampu menunjukkan identitas diri. Baik dari situasi formal maupun non formal. Bahkan bahasa yang dianggap sebagai budaya berpengaruh besar terhadap pembentukan karakter.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari pemakaian bahasa. Melalui bahasa seseorang dapat mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan keinginannya dalam menyampaikan pendapat dan informasi. Bahasa sebagai alat untuk berinteraksi dalam masyarakat memiliki sifat sosial. Artinya, pemakaian bahasa digunakan oleh setiap lapisan masyarakat baik penutur maupun mitra tutur sehingga mereka dapat saling memahami maknanya dengan baik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan bahasa?
2.      Seberapa besar pengaruh bahasa dalam menunjang pendidikan karakter yang sesuai dengan kepribadian bangsa?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui makna dari bahasa.
2.      Untuk memahami seberapa besar pengaruh bahasa dalam pendidikan karakter.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Bahasa
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang didalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa.[1]
Dari gambaran di atas, bahasa bisa didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Namun, definisi yang banyak dipakai orang adalah: bahasa adalah susatu sistem simbol lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk berkomunikasi dan beinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya yang mereka miliki bersama.[2]
Sebagai kesimpulan untuk bagian ini, bisa dikatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem atau lebih tepatnya sekelompok sistem (yaitu sistem bunyi, sistem tata bahasa, sistem makna), dan bahwa variasi dalam penggunaan bahasa sering kali bersifat sistematis juga. Namun, sekalipun bahasa bersifat sistematis, bahasa tetap bisa digunakan secara kreatif dan inovatif.[3]
Para ahli juga turut serta dalam mendefinisikan bahasa. Beberapa diantaranya ialah:
1.      Plato: Bahasa pada dasarnya adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan anomata (nama benda atau sesuatu) dan rhemata (ucapan) yang merupakan cermin dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut.
2.      Carrol: Bahasa adalah sebuah sistem berstruktural mengenai bunyi dan urutan bunyi bahasa yang sifatnya manasuka, yang digunakan atau yang dapat digunakan dalam komunikasi antar individu oleh sekelompok manusia dan yang secara agak tuntas memberi nama kepada benda-benda, peristiwa-peristiwa, dan proses-proses dalam lingkungan hidup manusia.
3.      Sudaryono: Bahasa adalah sarana komunikasi yang efektif walaupun tidak sempurna sehingga ketidaksempurnaan bahasa sebagai sarana komunikasi menjadi salah satu sumber terjadinya kesalahpahaman.
Dari beberapa pendapat para ahli dapat kita simpulkan bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang mempunyai fungsi-fungsi, dan ragam-ragam tertentu.

B.     Definisi Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah hal yang penting sepanjang hidup manusia karena pendidikan dapat menghasilkan manusia yang handal dan bermartabat. Sebagaimana kita ketahui bersama, sistem pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 389) karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain: tabiat; watak. Dengan demikian karakter (watak; tabiat) dapat dipahami sebagai sikap, tingkah laku dan perbuatan baik atau buruk yang berhubungan dengan norma sosial. Pendidikan karakter dapat dipengaruhi oleh banyak hal. Diantaranya keluarga, teman, lingkungan, bahasa, dan masih banyak lagi lainnya.[4]
Dari gambaran di atas, dapat kita simpulkan bahwasanya pendidikan karakter adalah suatu usaha manusia yang terencana untuk menanamkan nilai-nilai karakter tertentu dan memberdayakan potensi peserta didik guna membangun karakter pribadinya sehingga dapat menjadi individu yang bermanfaat baik untuk diri sendiri, lingkungan sekitar, nusa dan bangsa.




C.    Kesinambungan Bahasa Dalam Pendidikan Karakter
Seperti yang kita ketahui bahasa mencerminkan bangsa. Itulah gambaran bagaimana hubungan bahasa dengan pendidikan karakter. Bahasa yang notabennya sebagai alat komunikasi mempunyai dampak yang besar terhadap perilaku manusia. Hal tersebutlah yang meyakini setiap tuturan yang diucapkan manusia mempunyai karakter tersendiri. Karakter yang diungkapkan dalam hal ini merujuk pada pedoman Kementrian Pendidikan Nasional mengenai delapan belas karakter yang menjadi petunjuk pendidikan karakter, diantaranya religius, jujur, disiplin, kerja keras, semangat kebangsaan, cinta tanah air, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, rasa ingin tahu, gemar membaca, kreatif, mandiri, demokratis, cinta damai, menghargai prestasi, toleransi, dan komunikatif.[5]
Sesuai dengan kutipan yang mengatakan “Bahasa membantu individu dalam memahami aturan-aturan yang berlaku di tempat tinggal, tempat belajar, dan tempat bekerja serta tempat bermainnya. Semakin tinggi kemampuan berbahasanya semakin tinggi pemahaman yang bisa dicapainya”,[6] dan juga kutipan yang menyatakan “Keunggulan bangsa memerlukan keunggulan prestasi, sedangkan keunggulan prestasi memerlukan keunggulan berpikir, dan keunggulan berpikir memerlukan keunggulan berbahasa”.[7] Kedua kutipan tersebut sama-sama menekankan penguasaan berbahasa yang baik. Itu sudah cukup membuktikan betapa pentingnya memiliki kemampuan berbahasa yang baik sebagai sebuah pondasi untuk mewujudkan pedoman Kementrian Pendidikan Nasional dalam pendidikan karakter serta untuk menuju ke peradaban bangsa yang lebih baik lagi.

D.    Kedudukan dan Fungsi Bahasa Dalam Dunia Pendidikan[8]
Bahasa selain menunjukkan budaya tetapi juga kecerdasan personal seseorang (intelegensi linguistik). Bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam hidup manusia. Manusia sudah menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi antarsesamanya sejak berabad-abad silam. Bahasa hadir sejalan dengan sejarah sosial komunitas-komunitas masyarakat atau bangsa. Pemahaman bahasa sebagai fungsi sosial menjadi hal pokok manusia untuk mengadakan interaksi sosial dengan sesamanya. Keraf (1980:03) yang menyatakan bahwa bahasa apabila ditinjau dari dasar dan motif pertumbuhannya, bahasa berfungsi sebagai:
1.      Alat untuk menyatakan ekspresi diri.
2.      Alat komunikasi.
3.      Alat untuk mengadakan integrasidan adaptasi sosial.
4.      Alat untuk mengadakan control sosial.
Empat fungsi yang diungkapkan Keraf diatas, salah satunya menunjukkan cara yang bisa dikatagorikan sebagai lingkungan pendidikan yaiu masyarakat. Didalam lingkungan daerah yang terisolir maupun daerah yang jauh dari pusat kota, pendidikan di luar sekolah tentu saja yang berada dalam masyarakat sangat dibutuhkan, karena bagi daerah seperti ini lingkungan pendidikan yang menyediakan ilmu pengetahuan, keterampilan, atau performans yang berfungsi dapat menggantikan pendidikan dasar utama. Pada ketetapan MPR nomor IV/MPR/1988 tentang garis garis besar haluan Negara pada bab IV yaitu pola umum pelita ke lima bagian pendidikan berbunyi sebagai berikut: “Pendidikan merupakan proses budaya, untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia” pendidikan berlangsung seumur hidup dan dapat dilaksanakan didalam Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, karena itu pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sumarsono dan Paini Partana dalam Sosiolinguistik menyatakan bahwa bahasa sebagai produk sosial atau produk budaya. Bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan manusia. Sebagai produk sosial atau budaya, bahasa berfungsi sebagai wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, dan sebagai wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Zainuddin juga mengutaran bahwa Bahasa diperoleh dengan belajar, maksudnya tiap orang belajar bahasa dari semenjak anak anak, dan lingkungan yang terdekat dan mampu memberikan pendidikan bahasa salah satunya lingkungan keluarga.


E.     Penanaman Pendidikan Karakter Melalui Bahasa[9]
Seiring perkembangan zaman yang terus berubah, memaksa pendidikan yang dinilai mempunyai peran besar harus pandai berinovasi, Hamidjojo mengemukakan hal – hal yang memaksa adanya inovasi pendidikan antara lain:
1.      Besarnya eksploasi pendidikan.
2.      Melonjaknya anspirasi dikalangan masyarakat luas, menambah makin berat dan besarnya keperluan penduduk yang lebih baik.
3.      Kurangnya sumber.
4.      Kelemahan sistem.
5.      Belum mekarnya alat organisasi efektif.
   Oleh sebab perihal tersebut, adanya inovasi dalam perbaikan pendidikan di negara kita antara lain dengan adanya pendidikan karakter, Koesuma dalam artikelnya menyatakan tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter seperti inilah, kualitas seseorang secara pribadi mampu diukur.
  Pendidikan berbasisi karakter merupakan salah satu upaya dalam pembaharuan di dunia pendidikan, besar pengaruh penanaman karakter pada anak dianggap sebaga hal pokok. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter, yaitu:
1.      Keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
2.      Koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
3.      Otonomi, di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
4.      Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan format seorang pribadi dalam segala tindakannya. Pendapat Foerster ini semakin mendukung program pendidikan yang tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang memberdayakan anak dalam pengertian kecerdasan dan keterampilan melainkan program pendidikan juga menyadarkan tentang pentingnya menjaga moralitas dan peningkatan kemampuan pertimbangan rasional dalam pengambilan keputusan. Apabila segala fenomena tentang pentingnya pendidikan tidak terealisasi dengan baik, maka keberhasilan pemperhati pendidikan karakter akan mengalami kegagalan. Dampak yang dinilai sangat mempengaruhi pendidikan anak adalah Lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dan pemberian pendidikan akan tersampaikan dengan baik jika penggunaan bahasa diberikan dengan tepat.
  Bahasa yang sopan,baik dan tidak mampu membuat anak merasa tertekan. Bahasa dapat pula berperan sebagai alat integrasi sosial sekaligus alat adaptasi sosial, hal ini mengingat bahwa bangsa Indonesia memiliki bahasa yang majemuk. Kemajemukan ini membutuhkan satu alat sebagai pemersatu keberseragaman tersebut. Di sinilah fungsi bahasa sangat diperlukan sebagai alat integrasi sosial. Bahasa disebut sebagai alat adaptasi sosial apabila seseorang berada di suatu tempat yang memiliki perbedaan adat, tata krama, dan aturan-aturan dari tempatnya berasal. Proses adaptasi ini akan berjalan baik apabila terdapat sebuah alat yang membuat satu sama lainnya mengerti, alat tersebut disebut bahasa. Dari uraian ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa bahasa merupakan sesuatu yang sangat penting bagi manusia.
Kartomiharjo (1982:1) menguraikan bahwa salah satu butir sumpah pemuda adalah menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dengan demikian bahasa dapat mengikat anggota-anggota masyarakat pemakai bahasa menjadi masyarakat yang kuat, bersatu, dan maju. Lalu bagaimana bahasa mulai bisa dikatakan berpengaruh terhapa proses pemberian pendidikan karakter, ada lima slogan yang dikumandangkan oleh para pengamat AM/Moulton, 1961, dalam “ International Congress of Linguistic”, yakni:
1.      Bahasa adalah lisan, bukan tulisan.
2.      Bahasa adalah seperangkat kebiasaan.
3.      Yang diajarkan adalah bahasa, bukan tentang bahasa.
4.      Bahasa adalah yang diajarkanoleh si penutur asli.
5.      Bahasa adalah berbeda-beda.
Dari slogan tersebut ada satu hal yang dianggap berpengaruh penting terhadap pendidikan karakter yaitu bahasa adalah seperangkat kebiasaan, kebiasaan bisa dikatakan adat, dalam situs Wikipedia menyebutkan bahwa adat ialah Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang.
   Stevick dalam Sudana menyatakan maksud dari pengajaran bahasa adalah, meningkatkan harga diri, menumbuhkan pikiran positif, meningkatkan pemahaman diri, menumbuhkna keakraban dengan orang lain, dan mampu menemukan kelebihan dan kelemahan diri. Dari pernyataan tersebut maksud pengjaran bahasa berorientasi pada pemerolehan nilai nilai sesuai pendidikan karakter yaitu, menumbuhkan pikiran positif dan menumbuhkan keakraban dengan orang lain.





BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Bahasa adalah alat komunikasi antar individu dan juga sebagai alat untuk menuangkan sebuah pikiran. Bahasa sebagai wahana pendidikan karakter perlu direncanakan, dibina, dan dimodemkan. Strategi yang efisien dan efektif untuk mewujudkannya ialah melalui pendidikan. Bahasa mencerminkan bangsa, melalui data kebahasaan, kita dapat mengetahui karakter bangsa ini.
Bahasa sangatlah berperan penting dalam menunjang karakter yang sesuai dengan jati diri bangsa. Sebagaimana kita ketahui, kemampuan berbahasa yang baik memegang peranan penting dalam mewujudkan peradaban bangsa dan mencerdaskan kehidupan bangsa sekaligus mencetak generasi penerus yang memiliki ketrampilan serta karakter yang baik.

B.     Kritik dan Saran
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca. Apabila ada kesalahan dalam penyusunan makalah ini, kami sebagai penulis memohon maaf sebesar-besarnya. Kami juga mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.











DAFTAR PUSTAKA


Dardjowidjojo, Soenjono. 2014. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Junianto, Smala. 2012. Makalah: Peran Bahasa Dalam Pendidikan Karakter. [Internet]. Tersedia di: http://smalajunianto.blogspot.com/2012/02/makalah-peran-bahasa-dalam-pendidikan.html.
Muslich, Masnur dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi. Jakarta: Sinar Grafika Offset.
Thomas, Linda dan Shan Wareing. 2007. Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suherdi, Didi. 2012. Rekonstruksi Pendidikan Bahasa. Bandung: Celtics Press.
Sulistiyowati, Eni. 2013. “Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia” dalam Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam. Vol.8. No. 2. Kudus: STAIN Kudus.




















[1] Masnur Muslich – I Gusti Ngurah Oka, Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010), Hal. 27.
[2] Soenjono Dardjowidjojo, Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), Hal. 16.
[3] Linda Thomas – Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Hal. 17.
[4] Eni Sulistiyowati, “Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia” dalam Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam. Vol. 8, No. 2, Agustus 2013, Hal.312-313.
[5] Eni Sulistiyowati, Ibid, Hal. 316-317.
[6] Didi Suherdi, Rekonstruksi Pendidikan Bahasa (Bandung: Celtics Press, 2012), Hal. 9.
[7] Didi Suherdi, Ibid, Hal. 13.
[8] Smala Junianto, “Makalah: Peran Bahasa Dalam Pendidikan Karakter”, diakses dari http://smalajunianto.blogspot.com/2012/02/makalah-peran-bahasa-dalam-pendidikan.html, pada tanggal 4 Desember 2019 pukul 11.30 WIB.
[9] Smala Junianto, Ibid.